Sabtu, 28 Juli 2012

Kisah 11 Mei 2011


Kala itu sunyi menyapa kelam hari yang semakin larut. Jalanan kota menemani hati yang sepi menuju istana tuk memeluk imaji. Raga yang lelah masih saja dalam perjalanan yang memakan banyak detikan tuk tiba, pada nyamannya surga kecil. Bersama alunan nada-nada yang indah, ku bernyanyi lirih sambil ku kendalikan mesin yang terus saja bergemuruh tuk membawaku pada sebuah tempat yang seharusnya aku berada pada waktu itu. Menikmati setiap angin yang membelai wajah layu, sejenak asa terbayang rindu yang terbawa angin pergi terpisah jarak dan ku rasa teramat jauh, walau dapat terengkuh. Melukiskan kisah disaat tangan mampu memeluk dalam erat melingar, melepas segala penat rindu menghantam jiwa dan asa. Terasa indah walau sunyi masih saja menyelimuti jiwa yang meringkuk pada dinginnya udara pinggir kota.
 Waktu yang terus berdetak membawaku pada penghujung perjalanan menuntut kematian. Seketika ku beradu kecepatan yang hampir mematahkan nadi-nadiku berdenyut. Harta terampas oleh pelaku kriminal yang berkeliaran mencari mangsa layaknya binatang buas yang haus akan darah segar. Hidup memaksa nurani tuk membabi buta, tak pandang bulu. Mesin melaju dengan kecepatan diatas rata-rata, jauh di atas kecepatan normal. Sekencang-kencang bibir ini berteriak meminta pertolongan, namun tak satu pun datang menghampiri, sekuat tenaga ku terus melaju, hingga pada akhirnya dalam hitungan jengkal dan semua teraih, namun apa daya bila dewi fortuna tidak berada di pihakku. Mesin seketika tak tekendali, melemparku jatuh ke jalanan yang dipenuhi krikil tajam dan serpihan kaca bekas tragedi sebelumnya, terseret sejauh mata tak mampu menjangkau, berlumuran cairan merah kental dan segar, mata tak lagi mampu terjaga, terpejam dan seperti ku tak lagi mampu bertahan.
Tak satu pun mengenali raga yang tergeletak lunglai yang tak lagi mampu berucap dengan kesadaran. Berada dalam sisa-sisa nafas yang terus saja terengah menahan kehidupan agar terus bersama. tak satupun tanda pengenal tertinggal dalam kantong-kantong harapan. Tak stupun rangkaian nomor mampu ku ingat dalam memori yang tlah terpenuhi oleh hiruk pikuk kematian, namun malaikat dari mana mampu menyelamatkan diantara ketidakmungkinan. Mata yang tak mampu terbelalak, setengah membuka memandang sekitar yang ku rasa seperti surga. Menyaksikan kekosongan dengan raga yang terasa berat dan perih merajam. Hanya terdengar suara-suara yang menyerukan namaku dan doa-doa yang terus menemani ku bersemayam pada tempat yang ku tak ku mengerti. “Inikah surga?” bisik hatiku mulai usik tenang pada hidup yang ingin ku gulir bersama pagi yang indah.  Angin terus enggan menjawab, acuh dan begitu saja berlalu tak menghiraukan kegelisahan yang kian menikam. Seketika mata kembali terpejam, terlalu lelah menanti jawaban yang ku rasa angin tak mampu menemukan jawabannya, atau bahkan angin tak tega menjawabnya, karena nyata yang ku temukan tak sejalan dengan inginku.
Begitu gelap, yaa .. hanya gelap yang ku saksikan, bau-bauan anyir mulai menyeruak mengganggu wewangian bunga yang ku hirup bersama oksigen yang kurasa itu adalah oksigen. Dan ketika mata terjaga dari lelahnya, ku lihat ruang yang begitu asing. Menyaksikan pada cermin yang terpasang pada dinding, and thank’s God i’m still alive. Tapi  darah segar mengucur di sekujur tubuhku, dan hati meragu, still am i alive? Dari arah pintu, masuk sesosok berjubah putih, serba putih, dan berkata, “Berbaringlah! Kau belum cukup kuat!”. “Aaahhhh .. Diakah Tuhan yang selama ini menjadi tempat ku bernaung?”, dalam hati ku bergumam. Ku benar-benar tak mengenalinya, tak sedikitpun ku mengenalinya, semua yang ada begitu asing. Nyata yang ada semakin mengoyakkan ketenangan akan harap ku masih bisa memandang cinta lekat. Lagi-lagi ku terlelap dalam imaji senja.
“nindy..nindy..” sontak ku terkejut dengan panggilan itu, ku cari dari mana arah namaku disebut. Ada sentuhan di tanganku, dan saat ku lihat, that was my mom. “dimana aku?” tanyaku lirih. “di tempat pesakitan berada, nak!” dan ibuku menjawabnya tegas. “dan apakah aku masih hidup?” dku menegaskannya, dan ibuku kembali menjawab dengan senyum kecilnya “kau masih ada nak, di dunia yang semakin keras ini”. “Oh Lord, thank’s” hatiku berbicara mengucap. Dan silih berganti ku melihat orang-orang yang ku kasihi meyakinkanku pada hidup yang masih ku rasa seperti mimpi. Setelah sekian lama ku memejamkan mata dan terbayang kegelisahan yang satu per satu bergilir tuk menyapa. Dan saat ku melihat tubuhku di cermin, sayatan-sayatan itu terlihat jelas setengah mengering, dan alat bantu tuk bertahan hidup masih terpasang menghiasi tubuhku yang kian kaku. Tapi ku bersyukur, setidaknya ada harapan tuk kembali mengukir kisah senja bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar