Sabtu, 23 Januari 2010

SERPIHAN GELAS KACA

Jeritan, rintihan, dan erangan itu terdengar di tengah malam yang sunyi. Diantara jangkrik dan nyanyian sepi menyambut datangnya sang Aprodite dalam dunia yang penuh akan dusta. Tangisan itu menggema memecah kesunyian. Membawa kegirangan dan pelukan hangat. Daging merah berbalut darah yang telah membentuk menusia kecil itu adalah Aprodite Pallas Athena Lares. Dite, sebutan manis baginya. Bermula dari rasa bahagia yang mengawali hari-harinya, seiring berjalannya waktu, keindahan itu meluntur. Bunda seakan menyesal memilikinya. Tak jarang Bunda mencoba mengakhiri nafas yang baru saja berhembus. Mengakhiri segala mimpi dan harapan Dite untuk menyaksikan dunia bergeming. Ayah tak peduli, tak mampu berbuat apa-apa. Hanya mampu terdiam dalam seribu bahasa. Hanya orang yang menatapnya iba , memberi pengharapan pada Dite. Daun-daun berguguran dan tangisan Dite mengurai di tengah kemurniannya. Bunda tak lagi peduli dengan tangisan itu. Tak lagi ingin menimang sang buah hati. Tak jarang sebilah pisau yang digenggam ingin ia hujamkan pada Dite yang tak mampu melawan bahkan berkata. Ingin sekali sang bunda mencabik-cabik Dite, hingga denyut nadinya tak lagi berdetak. Dite hanya mampu menangis. Mengurai air mata diantara gelak tawa.Salahkah Dite hidup dan merasakan indahnya dunia ini? Adakah harapan bagi Dite untuk menyaksikan mentari pagi tersenyum padanya? Haruskah nafas yang baru saja berhembus berakhir dalam tangan sang bunda? Perlahan selaput yang melekat pada retina matanya meluntur, Dite sedikit mampu melihat cahaya. Namun ia belum mampu tuk mengucap kata-kata, hanya melalui uraian air mata ia mengungkap semua yang ia rasa. Andaikan ia mampu tuk berkata, ia mungkin akan mengatakan,

“Bunda, biarkan aku hidup. Biarkan angin membelaiku, ijinkan aku menatap cahaya mentari. Walaupun ku tahu kau tak sedikitpun mencintaiku, biarkan ku tumbuh seperti kawan-kawanku. Aku ingin hidup!”

Bahkan dua kalimat yang sangat ingin ia katakana diantara tangis yang memecah keheningan,

“Bunda, ku tahu kau tak mencintaiku, namun ijinkan aku tuk mencintaimu. Beri aku kesempatan tuk membuktikannya.”

Dite yang semula hanyalah seonggok daging merah, kini ia tumbuh menjadi gadis kecil. Perlahan ia mulai berjalan, walau tertatih dan rasakan perihnya luka, ia terus mencoba. Ingin ia berlari mengejar mimpi-mimpi manisnya. Pada masa itu pun keceriaan tak jua nampak dari raut wajah Dite yang belum sedikitpun mengenal arti dosa. Keceriaan menggubah wajah manisnya menjadi sendu, dan tawa semu mewarnai lembaran hidup yang tak ternoda. Keceriaan itu seharusnya nampak pada masanya, tapi mengapa ia tak jua merasakannya? Tak jarang pula benda-benda yang seharusnya terpajang rapi menjadi penghias rumah meramaikan kulit halus Dite, lalu meninggalkan bercak merah yang lama-lama bekas itu membiru haru. Dinding kamar yang begitu dingin, hingga munusuk tulang, menjadi saksi linangan air mata dite mengurai. Sering kali ia menyendiri, menjauh dari kebisingan, dan teriakan-teriakan kasar yang tak selayaknya ia dengar. Rasa perih yang Dite rasakan mengawali kenakalan-kenakalan yang ia lakukan saat masih menduduki bagku taman bermain.Kerap kali hukuman dari guru pembimbing menghampirinya. Mulai dari kata-kata kasar hingga tangan Dite yang mampu melukai teman sepermainannya. Ia sedikitpun tak jera akan hukuman-hukuman yang melatarbelakangi kenakalannya. Dite yang malang, di masa kekanakannya ia telah merasakan hal-hal yang seharusnya tak ia rasakan. Perih itu tak kunjung menemukan jalan keluar. Sang ayah pun turut campur tangan. Suatu saat kemarahan ayahnya memuncak, saat Dite kehilanagn nafsu makan, akhirnya dinding kamar mandi dan bak yang terisi penuh dengan air, menjadi saksi kekejaman ayah terhadap sang buah hati, hal itu kerap kali terjadi padannya. Kekejaman orang tua selalu menghiasi derap langkah hidupnya. Beruntunglah malaikat datang menyelamatkannya, dan nyawa Dite tak sampai pergi meninggalkan raganya. Perjalanan hidupnya sangatlah panjang, namun takdir yang harus ia hadapi sangatlah pahit. Tak sewajarnya gadis mungil sepertinya merasakan perih di jiwa. Celoteh Dite mengumbar di malam yang dingin,

“Tuhan, mengapa Kau biarkan aku tuk menangis, dan merasakan pahitnya hidup yang Kau kirimkan padaku? Dimana kau Tuhan? Mengapa Kau tak datang memelukku? Usaplah air mataku, Tuhan!”

Dite meneria kenyataan takdir hidupnya yang pahit. Walau perih ia rasa, ia tetap mengucap syukur. Tak jarang Dite merasakan dada yang semakin sesak, dan ia pun sukar tuk berhembus. Tak disangka di usianya yang terbilang sebagai anak ingusan, Dite mengidap penyakit kanker paru-paru dan astma. Walau sakit yang ia rasa begitu menyiksa, namun Dite selalu menyembunyikannya. Tak ingin ia merepotkan siapa pun, tak ingin pula ia dikasihi karena penyakit yang di deritanya begitu serius. Begitu rasa sakit itu menyerang tubuhnya, ia pun berlari menuju kamar tidur. Bersembunyi, dan mengasingkan diri dari kenyataan hidup yang menyiksanya. Ia pun merintih dalam hatinya,

“sakit.. sakit sekali…aku tak bisa bernafas….”

Kata-kata itu selalu bergeming mengitari angannya. Rasa sakit yang tak lagi tertahan tak ia ungkapkan kepada siapa pun. Tidak pada orang tuanya, tidak pula kepada mereka yang ia yakini. Hanyalah ia dan Tuhan yang tahu dan merasakannya.

Aprodite mampu bertahan hidup hingga ia memasuki masa remaja. Walau penyakit itu terus meradang, dan menyarang pada tubuhnya tak sedikit pun keluhan yang dirasanya ia ungkapkan. Belum lagi hari-hari Dite yang dihiasi dengan pertengkaran orang tuannya yang semakin membuat Dite tak mampu bergeming. Hanya doa yang ia rasa begitu berarti dalam hidupnya. Dite berceloteh harap yang seakan pupus begitu saja,

“Mampukah aku melanjutkan hidup ini? Akankah ku mampu menjajaki percintaan, dengan romansa yang tak ingin sedikitpun ku lewati? Ingin ku rasakan kasih dan sayang. Aku ingin bersandar pada hati yang menginginkan kehadiranku di sisinya. Aku masih ingin menyaksikan dunia ini tertawa lepas padaku, dan aku pun ingin meyambut pagi. Namun masihkah ada waktu yang tersisa tuk ku rasakan secerca harapan itu”

Beruntunglah rasa persahabatan mampu memberikan semangat dan dukungan tuk mampu ia bertahan hidup. Ia mampu bertahan dalam perjalanan hidupnya berkat semangat perjuangan yang tak henti-hentinya mengalir dalam helai-helai nafasnya berhebus. Penyakit Dite, dirasa bertambah parah, namun untunglah ia mampu menahan rasa sakit itu. Tak jarang Dite mengalami keputusasaan karena hidup yang ia rasa tak lagi membawa harapan baginya. Rasa itu acap kali mengiringi kesedihannya ketika orang tuanya tiada hari tanpa pertengkaran. Tak ada yang mampu Dite lakukan. Ia begitu lemah, keadaan hidup yang sangat memprihatinkan. Beruntunglah rasa persahabatan itu mampu melawan kelemahan Dite menyikapi hidup yang ia jalani.

Kini Dite beranjak dewasa. Dalam waktu yang menghantarkannya menuju titik balik dalam hidup, ia masih membawa lembaran-lembaran kelam yang pernah singgah dalam hidupnya. Kekelaman itu mengubah Dite semakin kuat dalam hidupnya. Ia tak lagi lemah dan mampu terkalahkan. Hidup dan kenyataan yang ia alami mengajarkannya arti dari sebuah kedewasaan. Masa-masa dimana ia telah mengenal dunia secara utuh, dan diharuskan tuk mampu bertahan dari kerasnya hidup yang sesungguhnya. Kebencian itu timbul tatkala ia kembali mengengang memori yang pernah singgah. Ia membenci orang tuanya, yang seakan-akan hanya menganggapnya sebuah boneka, yang layak untuk dimainkan sesuai keinginan mereka. Dite menjadi liar, minuman mengandung alcohol yang berkadar besar ia teguk, bersama puntungan nikotin yang dililit tembakau kering ia hisap. Suramnya masa lalu, mengubah hidup Dite. Hal itu semakin menjadi saat ia temukan kegagalan dalam menimba ilmu, dan penghianatan cinta yang selama ini ia agungkan. Semuanya begitu tragis. Dite semakin membenci hidupnya,

“Bajingan!!!! Persetan dengan hidup!!! Semuanya hanya omong kosong!!! Andjing dengan janji-janji manis!!!”

“Cinta bagiku laknat!!!”

Kebenciannya semakin menjadi, ketika ia harus kehilangan salah satu orang yang dikasihinya.

“Bangsat!!! Apa sesungguhnya arti hidupku ini??? Semuanya terjadi begitu saja!!! Tai!!!”

Detik-detik yang berlalu ia lalui dengan kekosongan dan kehampaan. Tanpa ada senyuman yang tersirat pada raut wajahnya yang rupawan. Kebrutalan Dite menjadi-jadi. Setiap hari yang ia lakukan hanyalah meneguk minuman keras yang membahayakan rahimnya, bersaman dengan hisapan nikotin yang diracik dengan tembkau, mengunci diri di dalam kamar yang gelap dan juga pengap. Air mata terus membasahi pipinya. Tak jua ia tersenyum menatap matahari, dan menyentuh embun pagi. Tak lagi ia peduli dengan rasa sakit yang menggerogoti tubuh dan mengancam nyawanya.

Hingga pada suatu pagi, ia dipertemukan dengan seorang pria yang mampu mengembalikan semangat hidupnya kembali. Laurentius mampu membuat Dite kembali. Mengartikan hidup Dite dengan cinta yang tulus. Keanggunan Dite memaksa Laurent untuk berkata.

“Dite, aku begitu mencintaimu! Kau laksana bidadari yang kembali mewarnai hatiku yang kosong. Ijikan aku tuk menemanimu dalam perjalanan hidupmu, Dite.”

“Akupun merasakan hal yang sama sepertimu, Laurent. Tapi, apakah kau mampu menerima apa adanya diriku?dengan segala keterbatasan yang ku miliki?”

“Itu bukan menjadi alasan untukku tuk tak mencintaimu, Dite. Aku tulus mencintaimu.”

“Terima kasih, Laurent atas ketulusanmu. Aku pun mencintaimu.”

Ditengah rintikan hujan yang turun membasahi bumi, cinta itu mekar bersemi. Menuai romansa indah dalam hidup Dite. Semua terasa begitu indah, semenjak Laurent menempati palung hati Dite yang hampa dan rapuh. Tak lama kemudian orang tua Dite tanpa alasan mementang cinta yang terukir di hati mereka. Baru saja Dite merasakan hangat dekapan cinta, kembali ia dihadapkan pada kenyataan. Dite dan Laurent terus tetap bertahan walau tanpa restu. Rasa sakit yang tlah lama tak lagi ia rasa, kembali datang menggerogoti tubunya. Kembali ia terkapar, namun tak ia katakan kepada Laurent atas apa yang ia rasa.

“Biarkan ia tak tahu. Ku tak mau ia resahkan aku. Biarlah ku sendiri merasakan.”

Tak sedikit pun rasa sakit itu nampak pada raut wajah Dite. Rintihanpun tak jua terdengar pada daun telinga Laurent. Cintanya begitu tulus pada Laurent, tak ia inginkan perpisahan diantara mereka. Ia begitu menginginkan kisahnya berakhir pada Altar Suci. Ia takut kembali kehilangan orang yang mampu menghidupkan semangatnya kembali.

“Tuhan, ijinkan aku menemani Laurent walau sejenak. Ijinkan ku rasa bahagia bersamanya, sebelum utusanmu menjemputku.”

Akhirnya mimpi indah Dite manjadi nyata. Altar suci menjadi saksi perjalanan romansa Dite dengan Laurent. Namun bahagia tak abadi, rasa sakit Dite tak lagi tertahan. Setelah kelahiran Athena, Dite tertidur lelap untuk selamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar