Kala itu sunyi menyapa kelam hari
yang semakin larut. Jalanan kota menemani hati yang sepi menuju istana tuk
memeluk imaji. Raga yang lelah masih saja dalam perjalanan yang memakan banyak
detikan tuk tiba, pada nyamannya surga kecil. Bersama alunan nada-nada yang
indah, ku bernyanyi lirih sambil ku kendalikan mesin yang terus saja bergemuruh
tuk membawaku pada sebuah tempat yang seharusnya aku berada pada waktu itu.
Menikmati setiap angin yang membelai wajah layu, sejenak asa terbayang rindu
yang terbawa angin pergi terpisah jarak dan ku rasa teramat jauh, walau dapat
terengkuh. Melukiskan kisah disaat tangan mampu memeluk dalam erat melingar,
melepas segala penat rindu menghantam jiwa dan asa. Terasa indah walau sunyi
masih saja menyelimuti jiwa yang meringkuk pada dinginnya udara pinggir kota.
Waktu yang terus berdetak membawaku pada
penghujung perjalanan menuntut kematian. Seketika ku beradu kecepatan yang
hampir mematahkan nadi-nadiku berdenyut. Harta terampas oleh pelaku kriminal
yang berkeliaran mencari mangsa layaknya binatang buas yang haus akan darah
segar. Hidup memaksa nurani tuk membabi buta, tak pandang bulu. Mesin melaju
dengan kecepatan diatas rata-rata, jauh di atas kecepatan normal.
Sekencang-kencang bibir ini berteriak meminta pertolongan, namun tak satu pun
datang menghampiri, sekuat tenaga ku terus melaju, hingga pada akhirnya dalam
hitungan jengkal dan semua teraih, namun apa daya bila dewi fortuna tidak
berada di pihakku. Mesin seketika tak tekendali, melemparku jatuh ke jalanan
yang dipenuhi krikil tajam dan serpihan kaca bekas tragedi sebelumnya, terseret
sejauh mata tak mampu menjangkau, berlumuran cairan merah kental dan segar,
mata tak lagi mampu terjaga, terpejam dan seperti ku tak lagi mampu bertahan.
Tak satu pun mengenali raga yang
tergeletak lunglai yang tak lagi mampu berucap dengan kesadaran. Berada dalam
sisa-sisa nafas yang terus saja terengah menahan kehidupan agar terus bersama.
tak satupun tanda pengenal tertinggal dalam kantong-kantong harapan. Tak stupun
rangkaian nomor mampu ku ingat dalam memori yang tlah terpenuhi oleh hiruk
pikuk kematian, namun malaikat dari mana mampu menyelamatkan diantara
ketidakmungkinan. Mata yang tak mampu terbelalak, setengah membuka memandang
sekitar yang ku rasa seperti surga. Menyaksikan kekosongan dengan raga yang
terasa berat dan perih merajam. Hanya terdengar suara-suara yang menyerukan
namaku dan doa-doa yang terus menemani ku bersemayam pada tempat yang ku tak ku
mengerti. “Inikah surga?” bisik hatiku mulai usik tenang pada hidup yang ingin
ku gulir bersama pagi yang indah. Angin
terus enggan menjawab, acuh dan begitu saja berlalu tak menghiraukan
kegelisahan yang kian menikam. Seketika mata kembali terpejam, terlalu lelah menanti
jawaban yang ku rasa angin tak mampu menemukan jawabannya, atau bahkan angin
tak tega menjawabnya, karena nyata yang ku temukan tak sejalan dengan inginku.
Begitu gelap, yaa .. hanya gelap
yang ku saksikan, bau-bauan anyir mulai menyeruak mengganggu wewangian bunga
yang ku hirup bersama oksigen yang kurasa itu adalah oksigen. Dan ketika mata
terjaga dari lelahnya, ku lihat ruang yang begitu asing. Menyaksikan pada
cermin yang terpasang pada dinding, and thank’s God i’m still alive. Tapi darah segar mengucur di sekujur tubuhku, dan
hati meragu, still am i alive? Dari arah pintu, masuk sesosok berjubah putih, serba
putih, dan berkata, “Berbaringlah! Kau belum cukup kuat!”. “Aaahhhh .. Diakah
Tuhan yang selama ini menjadi tempat ku bernaung?”, dalam hati ku bergumam. Ku benar-benar
tak mengenalinya, tak sedikitpun ku mengenalinya, semua yang ada begitu asing. Nyata
yang ada semakin mengoyakkan ketenangan akan harap ku masih bisa memandang cinta
lekat. Lagi-lagi ku terlelap dalam imaji senja.
“nindy..nindy..” sontak ku
terkejut dengan panggilan itu, ku cari dari mana arah namaku disebut. Ada sentuhan
di tanganku, dan saat ku lihat, that was my mom. “dimana aku?” tanyaku lirih. “di
tempat pesakitan berada, nak!” dan ibuku menjawabnya tegas. “dan apakah aku
masih hidup?” dku menegaskannya, dan ibuku kembali menjawab dengan senyum
kecilnya “kau masih ada nak, di dunia yang semakin keras ini”. “Oh Lord, thank’s”
hatiku berbicara mengucap. Dan silih berganti ku melihat orang-orang yang ku
kasihi meyakinkanku pada hidup yang masih ku rasa seperti mimpi. Setelah sekian
lama ku memejamkan mata dan terbayang kegelisahan yang satu per satu bergilir
tuk menyapa. Dan saat ku melihat tubuhku di cermin, sayatan-sayatan itu
terlihat jelas setengah mengering, dan alat bantu tuk bertahan hidup masih
terpasang menghiasi tubuhku yang kian kaku. Tapi ku bersyukur, setidaknya ada
harapan tuk kembali mengukir kisah senja bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar