Inilah lakon yang aku perankan dalam sandiwara ini. Ia adalah adalah dalang dibalik sandiwara ini. Ia yang menjalankan aku, sehingga keseluruhan karyanya menjadi rentetan peristiwa yang membangun suatu kisah. Bagaimana akhir dari kisah ii pun aku tak tahu. Apa yang
Dalang itu tiba-tiba berkata,
“ Perankan lakon ini! Tuntaskan sandiwara ini dengan kisah yang ku ciptakan! Pahamilah peranmu, di dalam kisah ini kau
Aku tak segan melempar pertanyaan kepadanya,
“ Mengapa Kau begitu yakin akan kemampuanku, Tuan? Aku sendiri tak tahu apakah aku mampu ataukah sebaliknya.”
Ia meyakinkan aku,
“ Aku yakin akan kemampuanmu. Kau pasti mampu melakukanya! Pasti! “
Tanyaku lagi kepadanya,
“ Karakter seperti apa yang aku perankan dalam karyamu ini, Tuan? “
Ia mencoba membuatku memahami apa yang ingin Ia sampaikan padaku,
“ Aku tak ingin kau menjadi orang lain. Aku hanya ingin kau menjadi dirimu sendiri. Aku tak
Ia pun berlalu dari hadapanku, dengan menyisakan pertanyaan yang tak sanggup terjawabkan. Tak sedikitpun kata-kata yang Ia ucapkan dapat ku mengerti. Kalimat-kalimat itu penuh keambiguan. Entah apa yang Ia maksud?
Lembaran demi lembaran, kata demi kata ku coba tuk pahami dan ku coba tuk mengerti. Namun, aku tetap tak mengerti, aku tak mampu memahami.
Aku coba bertanya, namun tak satu pun jawaban dapat ku temukan. Aku semakin tak mengerti dengan tuntutan yang Ia tujukan padaku akan karya yang telah Ia ciptakan.ak mulai meragukan-Nya.
Kesalku meraja setelah ku tahu tanyaku tak jua terjawabkan,
“ Persetan dengan segala pertanyaan yang enggan ia jawab!!! “
Kalimat itu sungguh mengungkapkan rasa hatiku yang meragu, dan kesal atas sikap angkuh-Nya. Aku mengerti, Ia begitu menginginka kesempurnaan dalam karyanya, namun tak sedikitpun penjelasan yang terucap dari bibir-Nya.
Ku coba tuk jalani peran yang ditujukan padaku, aku ingin Ia puas. Tanpa ku harus tahu kemana alur kisah ini
Adegan datang dan pergi selalu menjadi cirikhas dari setiap karya yang Ia ciptakan. Dimana kedatangan memberikan kebahagiaan an harapan baru, sedangkan kepergia selalu menyisakan perih yang tak terjamah. Selalu seperti itu.
Kekesalan menghantuiku,
“ Bajingan!!! Bangsat!!! Apa mau-Nya? Tak supun kalimat Ia ucapkan tuk memudahkan aku dalam mendalami peranku.
Ia datang seperti hantu yang tiba-tiba muncul dari belakangku, dan berkata,
“ Aku tak bisu, aku juga tak sebodoh yang kau pikirkan. Aku selalu berbicara kepadamu. Aku selalu berbicara… namun tak satupun kau tahu maksudku. Dan hanya naskah yang kini kau pegang itulah tuntunanmu dalam karyaku ini. “
Aku pun tak ingin kalah dari-Nya,
“ Iya aku tahu kau berbicara!!!??? Tapi tak satupun kalimat yang terlontar dari bibirmu itu mampu memudahkan peranku ini. “
Ia mencoba menyanggah pernyataanku,
“ Aku memberikanmu petunjuk. Tapi bahkan kau tak memperdulikan aku! Aku berkata padamu, namun kau tak jua mengerti. “
Aku menegaskan kepada-Nya tanpa ku harus ragu pada diriku,
“ Hahhahahaha…. Anda memang aneh, Tuan! Kau tak pernah mengatakannya!! Bahkan kau begitu saja berlalu dari hadapanku seakan kau benar-benar tak memperdulikan aku!! Enak saja sekarang Anda mengaku bahwa Anda telah mengatakannya!! “
Dengan segenap keangkuhan Ia berkata,
“ Kau belum mengeri maksudku. Kau
Ia pun berlalu seperti angina yang sekejap berhembus lalu hilang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar